Cinta tidak
harus dengan bunga Sayang
Suami saya adalah seorang yang sederhana, saya
mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul di
perasaan saya, ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.
Dua tahun
dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah,
alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang
menjemukan.
Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar
sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti
seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya
dapatkan.
Suami saya
jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan
ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami
telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan
keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.
“Mengapa?”,
tanya suami saya dengan terkejut.
“Saya lelah,
kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan,” jawab saya.
Suami saya
terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah
sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.
Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang
bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan
darinya?
Dan akhirnya
suami saya bertanya, “Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiran kamu?”
Saya menatap
matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan,”Saya punya pertanyaan, jika kau
dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan merubah pikiran
saya :
“Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yg ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya?”
“Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yg ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya?”
Dia termenung dan akhirnya berkata, “Saya akan
memberikan jawabannya besok.” Perasaan saya langsung gundah mendengar
responnya.
Keesokan
paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan
oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang
bertuliskan ……
“Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya.”
“Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya.”
Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya.
Saya
melanjutkan untuk membacanya.
“Kamu selalu
pegal-pegal pada waktu ‘teman baik kamu’ datang setiap bulannya, dan saya harus
memberikan tangan saya untuk memijat kaki kamu yang pegal.”
“Kamu senang
diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi ‘aneh’. Saya harus
membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidah
saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami.”
“Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu
dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Saya harus
menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong
mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu.”
“Tangan saya
akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati
matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang
bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu.”
“Tetapi
Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu
hanya untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir.
“Sayang,
saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih dari saya mencintai
kamu. Untuk itu Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki saya,
mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari
tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu.”
Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat
tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya.
“Dan
sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya.
Jika kamu
puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkan saya untuk tinggal di
rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di
sana menunggu jawaban kamu.”
“Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang,
biarkan saya masuk untuk membereskan barang-barang saya, dan saya tidak akan
mempersulit hidup kamu. Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia.”
Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya
berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu
dan roti kesukaan saya.
Oh, kini
saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintai
saya.
Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud
cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.
Karena cinta
tidak selalu harus berwujud “bunga”
Sumber:
Karena cinta tidak selalu harus berwujud
“bunga”,firdausoyon.blogspot.com,
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya